Memantapkan Pengembangan Electronic Commerce DI Indonesia
Sekalipun antara dua pelaku bisnis terjadi hubungan e-mail melalui Internet secara rutin, itu bukan berarti bahwa EC telah terbentuk dengan sendirinya. Sebagai sistem yang terkait erat dengan perilaku (dalam hal ini perilaku berbisnis), EC harus diwujudkan melalui kegiatan penelitian dan pengembangan berencana, dengan agenda yang khas,agar EC sungguh menjadi enabling technology dan memberi kontribusi positif kepada perkembangan perekonomian di Indonesia. Untuk itu perlu ada penajaman dan pemilahan dalam pendekatan yang dipakai. Dalam naskah ini yang dipilih sebagai titik tolak adalah kegiatan penelitian dan pengembangan yang pada umumnya terarah kepada penjabaran nilai-nilai tambah yang terbentuk dalam matarantai kegiatan yang berawal pada penyediaan bahan dasar, perakitan dan produksi, pemasaran hasil, menuju kepada penjualannya kepada konsumen akhir.
Dalam konteks EC, maka fokus pada tiga masalah utama, yaitu nilai bisnis, interoperabilitas, dan kepercayaan. Ketiga masalah tersebut harus menjadi pusat perhatian para peneliti EC yang akan mempengaruhi perkembanagannya pada suatu negara termasuk Indonesia.
A. Nilai Bisnis
Potensi dari EC adalah daya transformasinya. Jika EC diintegrasikan dengan sistemsistem lain yang dimiliki oleh sebuah perusahaan, EC memungkinkan sebuah perusahaan untuk mendefinisikan kembali bagimana bisnis mau dilaksanakan. Ini berarti bahwa EC dapat mendorong terwujudnya strategi bisnis yang baru, yang juga berarti bahwa EC yang efektif memerlukan perubahan organisasional dalam beberapa bidang kegiatan perusahaan. Sebagai contoh, strategi untuk operasi yang lebih efisien (contoh : biaya yang lebih rendah atau pelayanan yang lebih cepat), dan/atau layanan yang lebih baik (lebih memuaskan atau dengan sedikit kesalahan) akan memerlukan design ulang proses bisnis. Karena EC mampu menghasilkan cara baru untuk mengumpulkan informasi tentang konsumen secara sangat efisien, maka ada peluang untuk perusahaan menghasilkan produk yang berorientasi pada kelompok-kelompok konsumen tertentu, dan mendapatkan komitmen konsumen (loyalitas konsumen).
A.1 Desain Ulang Proses Bisnis
Sekalipun antara dua pelaku bisnis terjadi hubungan e-mail melalui Internet secara rutin, itu bukan berarti bahwa EC telah terbentuk dengan sendirinya. Sebagai sistem yang terkait erat dengan perilaku (dalam hal ini perilaku berbisnis), EC harus diwujudkan melalui kegiatan penelitian dan pengembangan berencana, dengan agenda yang khas,agar EC sungguh menjadi enabling technology dan memberi kontribusi positif kepada perkembangan perekonomian di Indonesia. Untuk itu perlu ada penajaman dan pemilahan dalam pendekatan yang dipakai. Dalam naskah ini yang dipilih sebagai titik tolak adalah kegiatan penelitian dan pengembangan yang pada umumnya terarah kepada penjabaran nilai-nilai tambah yang terbentuk dalam matarantai kegiatan yang berawal pada penyediaan bahan dasar, perakitan dan produksi, pemasaran hasil, menuju kepada penjualannya kepada konsumen akhir.
Dalam konteks EC, maka fokus pada tiga masalah utama, yaitu nilai bisnis, interoperabilitas, dan kepercayaan. Ketiga masalah tersebut harus menjadi pusat perhatian para peneliti EC yang akan mempengaruhi perkembanagannya pada suatu negara termasuk Indonesia.
A. Nilai Bisnis
Potensi dari EC adalah daya transformasinya. Jika EC diintegrasikan dengan sistemsistem lain yang dimiliki oleh sebuah perusahaan, EC memungkinkan sebuah perusahaan untuk mendefinisikan kembali bagimana bisnis mau dilaksanakan. Ini berarti bahwa EC dapat mendorong terwujudnya strategi bisnis yang baru, yang juga berarti bahwa EC yang efektif memerlukan perubahan organisasional dalam beberapa bidang kegiatan perusahaan. Sebagai contoh, strategi untuk operasi yang lebih efisien (contoh : biaya yang lebih rendah atau pelayanan yang lebih cepat), dan/atau layanan yang lebih baik (lebih memuaskan atau dengan sedikit kesalahan) akan memerlukan design ulang proses bisnis. Karena EC mampu menghasilkan cara baru untuk mengumpulkan informasi tentang konsumen secara sangat efisien, maka ada peluang untuk perusahaan menghasilkan produk yang berorientasi pada kelompok-kelompok konsumen tertentu, dan mendapatkan komitmen konsumen (loyalitas konsumen).
A.1 Desain Ulang Proses Bisnis
Semua transaksi bisnis memerlukan pemrosesan dan komunikasai informasi. Secara umum, dampak bisnis dari electronic commerce adalah dua. Pertama, EC menghasilkan penghematan biaya operasi internal dan dalam akses ke konsumen dan suplier. Kedua, infratsruktur komersial ini mengubah peluang menjadi kenyataan ketika konsumen dan bisnis mengadopsi model transaksi yang baru yang meningkatkan posisi strategis perusahaan dalam pasar. Pemahaman akan bagaimana EC mengubah transaksi bisnis menjadi kunci untuk memelihara posisi strategis perusahaan.
A.2 Managemen Supply Chain
Dalam banyak industri ada kecenderungan untuk konsumen memaksakan pilihan khas mereka. Produk dan jasa harus memenuhi kebutuhan spesifik tiap konsumen, tanpa harus kehilangan economic of scale. Bagaimana caranya agar lebih proaktif? Komunikasi yang lebih cepat perlu terjalin di antara para anggota dalam mata rantai penyediaan khususnya mengenai informasi tentang permintaan spesifik para konsumen. Secara teknis, itu berarti volume dan kandungan informasi yang dipertukarkan juga meningkat. Sebagai akibatnya keandalan dan ketepatan dari informasi yang dipertukarkantersebut menjadi faktor sukses kritis dalam matarantai suplai yang fleksibel dan responsif.
A.3 Masalah legacy
Sering sekali perusahaan menemukan kemampuan mereka berkompetisi dibatasi oleh proses bisnis dan sistem basis data yang sudah kuno, yang dirancang beberapa tahun yang lalu untuk keperluan pasar pada waktu itu. Legacy database seperti itu tidak lagi kompatibel dengan teknologi yang ada pada saat ini. Perusahaan dipaksa untuk mulai dari tingkat yang lebih mendasar, dengan mengarahkan usaha mereka pada rekayasa ulang dari model dan sistem bisnis mereka. Rekayasa ulang pada hakekatnya dapat didefinisikan sebagai sebuah proses untuk mengetahui bagaimana sistem legacy database bekerja dan bagaimana sistem berinteraksi dengan proses bisnis. Apapun pendekatan yang digunakan dalam proses rekayasa ulang tersebut, tiap tahap dan unsur harus dikaji dalam konteks teknologi yang mendukung EC. Antarmuka antara perusahaan dengan klien juga harus dikaji secara kritis. Dalam sebuah aplikasi penjualan, klien di sini biasanya adalah orang. Apakah representasi sebuah tempat belanja secara tiga dimensi (3D) akan meningkatkan penerimaan para pengguna? Jika antarmuka dengan pengguna didukung oleh agen yang berupa perangkat lunak, manakah yang akan membantu konsumen menemukan tempat yang diinginkannya untuk berbelanja dan mendapatkan produk yang diinginkan? Pertanyaan lain yang muncul: Hubungan dan perilaku agen yang bagaimanakah yang kiranya disebut sesuai? Bagimana seharusnya profil pengguna diimplementasikan dalam EC untuk meningkatkan tingkat penerimaan dan kepuasaan pengguna?
A.4 Desain Ulang Proses Hukum
Transaksi bisnis yang berdasar pada pemrosesan informasi dan komunikasi memberi pengaruh pada sistem hukum tradisonal yang berdasar pada kertas. EC menimbulkan efek penghilangan material pada beberapa proses. Dokumen yang ditulis tangan telah digantikan dengan dokumen yang diproduksi secara elektronis, dan perangkat lunak tidak lagi disajikan dalam bentuk disket melainkan dapat didownload melalui jaringan. Berdasar kenyataan bahwa hukum sering berdasar pada obyek fisik, maka hal ini akan menimbulkan masalah yang serius terhadap bisnis karena ketidakpastian hukum dari proses tersebut. Status hukum dari transaksi yang dibentuk secara otomatis, belumlah jelas. Apakah mungkin untuk sebuah perjanjian atau yang lebih umum, prosedur hukum dibuat oleh sebuah komputer ? Apakah kita membutuhkan revisi konsep hukum ? EC juga memberikan cara-cara baru untuk mengumpulkan informasi konsumen dengan lebih efisien. Perkembangan ini memberikan dampak yang kuat terhadap apek transparansi, yang tentu saja memberikan konsekuensi yang penting bagi konsep kerahasiaan (privacy). Permasalahan yang dijelaskan diatas hanyalah sebagian dari ketidakpastian hukum yang muncul berkaitan dengan diperkenalkannya EC. Semua itu sangat potensial dalam menghalangi diterimanya EC. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, tantangan dari EC adalah supaya perusahaan dan konsumen menerima EC. Untuk merealisasikannya, pemerintah sering dipandang sebagai yang bertanggungjawab untuk menghilangkan hambatan hukum untuk penerimaan EC. Meskipun IT menawarkan banyak kemungkinan tetapi tidak mungkin mencakup segala aspek. Masyarakat informasi akan semakin ditandai oleh perbedaan yang sangat besar dalam sektor-sektor, proses, dan aktivitas. Hal ini berarti bahwa norma dan nilai yang berbeda akan diterapkan untuk kasus yang berbeda dan untuk waktu yang berbeda pula. Tetapi implementasi teknologi medis digital tidak dapat dibandingkan dengan penggunaan perangkat lunak agen cerdas untuk kebijakan pemasaran langsung (direct-marketing). Meskipun pada aras teknologi perbedaannya tidak ternyata nyata, namun dalam pandangan hukum bisa sangat berbeda. Oleh sebab itu pelembagaan EC harus dikerjakan dengan cara-cara yang lebih spesifik daripada sekedar dengan hukum dan regulasi.
B. Interoperabilitas
Interoperabilitas adalah kemampuan sistem yang terpisah, pre-existing, independen, dan komponen-komponen sistem, misalkan akuntansi, pemrosesan order, dan sistem inventori, untuk bekerja sama untuk mencapai tujuan umum yang lebih tinggi. Sistem yang bersifat interoperabilitas tersusun oleh komponen otonom, diatur secara lokal, dan heterogen, yang bekerja sama untuk menghasilkan layanan yang kompleks. sistem seperti itu biasanya berupa sistem yang terdistribusi dan bnersifat terbuka dan merupakan subyek untuk melanjutkan perubahan. Meskipun masalah interoperabilitas pada dasarnya adalah masalah teknis, bagaimana perusahaan dapat beroperasi pada aras teknis – sementara perbedaan dalam standard dan sistem basis data itu jelas ada dan memiliki implikasi besar jika ditinjau dalam perspektif bisnis dan hukum yang biasa berlaku dalami dunia EC. Untuk perusahaan, interoperabilitas memfasilitasi penggabungan proses-proses bisnis dalam sebuah organisasi dengan organisasi yang lain. Dalam masalah hukum hal ini mengandung arti bahwa kerangka hukum untuk transaksi lintas batas harus juga bersifat interoperabel. Demikian juga status hukum dari pihak ketiga harus jelas baik dalam transaksi dalam negeri maupun dalam transaksi internasional. Seperti yang telah disebutkan dimuka, interoperabilitas bukan hanya masalah teknis, tetapi juga masalah organisasi dan hukum. Dalam kasus transaksi lintas-batas, misalnya, dapat ditinjau managemen supply chain sebagai cara untuk mencapai interoperabilitas pada aras bisnis dan aliran kerja terdistribusi ("distributed workflow") sebagai cara yang menantang untuk mencapai interoperabilitas teknis.
B.1 Jaringan Bisnis
Manajemen matarantai suplai menuntut pertukaran informasi yang cepat dan terpercaya diantara anggauta-anggauta sebuah matarantai tersebut, termasuk komunikasi dengan pasar/konsumen sasaran. Banyak perusahaan yang menjadi anggauta dari beberapa matarantai pada waktu yang sama. Sebagai contoh, sebuah produk dapat memasuki pasar sebagai bagian dari sebuah otomobil, perlengkapan listrik atau sebagai bagian dari produk elektronik. Demikian juga, sebuah rumah sakit dapat disuplai oleh pemasok barang farmasi dan saat yang sama juga menerima produk makanan untuk pasien, perlengkapan medis, dan perlengkapan untuk kantor. Oleh sebab itu dapatlah dikatakan bahwa sebuah perusahaan dan banyak perusahaan lain menjadi bagian dari sebuah jaringan bisnis yang berkembang, yang dengan sendirinya mengisyaratkan pentingnya interoperabilitas. Informasi akan dipertukarkan diantara rekanan bisnis, melayani berbagai macam tujuan dengan berbagai kebutuhan. Dalam situasi seperti itu dengan mudah dapat diamati adanya kenaikan tidak hanya dalam jumlah koneksi, melainkan juga pada volume dan kandungan komunikasi. Sebagai contoh, jika relasi hanya di antara penjual dan pembeli, maka kandungan komunikasi akan berkaitan dengan order, catatan-catatan pengiriman, faktur, dan pembayaran. Relasi yang lebih intens akan meliputi pertukaran spesifikasi, posisi stok saat ini, dan data perencanaan. Komunikasi yang lebih cepat harus terjadi diantara banyak anggauta sebuah jaringan bisnis menjadi sebuah faktor sukses yang penting.
B.2 Sistem Aliran Kerja Terdistribusi
Interaksi melalui WWW atau Internet membentuk model komunikasi yang baru di antara perusahaan sebagai akibat proses bisnis yang berorientasi global. Telah diamati munculnya sistem pendukung yang secara organisasional diintegrasikan dengan metodemetode yang muncul dari EC. Pastilah bahwa proses bisnis akan terdistribusi di sepanjang matarantai nilai. Sementara itu aplikasi aliran kerja yang ada dalam jaringan internal juga membutuhkan akses global untuk memastikan bahwa tugas dan proses bisnis terselenggara sesuai permintaan dan tepat dalam waktu. Supaya sukses dengan EC, sistem aliran kerja harus dapat memberi dukungan atas suatu pandangan yang sifatnya menyeluruh atas semua elemen bisnis yang melintasi batas-batas departemen dan dengan demikian dapat mengatur seluruh aliran operasional bisnis. Ini menuntut integrasi antara fungsi bisnis, antarmuka program-program aplikasi, dan basis data yang terdapat dalam semua departemen dalam organisasi. Secara umum, penerapan sebuah EC belum dapat memberi jaminan bagi transaksi yang handal, pengiriman pesan yang lancar dan layanan akses atas data seperti terdapat dalam aplikasi client/server. Untuk aplikasi Internet yang tangguh, perlu ada proteksi atas investasi dalam teknologi client/server dan sistem legacy. Problem tersebut hanya dapat dipecahkan dengan integrasikan sistem bisnis organisasi dan data legacy dengan web. Hal itu juga dapat dicapai dengan meletakkan perangkat lunak pemroses transaksi EC dan sistem manajemen aliran kerja diatas platform yang sudah terdistribusi sehingga terselenggaralah interoperasi di antara berbagai komponen yang sebenarnya tidak kompatibel.
C. Kepercayaan
Kepercayaan berkaitan dengan keyakinan, atau kemauan untuk meyakini bahwa seseorang dapat mengandalkan kebaikan dan kemampuan orang lain sebagai penjual atau pembeli. Kepercayaan itu juga dapat diwujudkan dengan bantuan teknik tertentu seperti kriptografi. Sekalipun ada unsur subyektif, kepercayaan merupakan wujud dari harapan sebuah komunitas yang mengandalkan sikap dan perilaku yang lugas, jujur dan kooperatif, menurut norma umum.
Dalam pasar, pembeli dan penjual dapat dihadapkan pada perilaku oportunisrik. Tanpa kepercayaan yang memadai di antara rekanan binis, aliran material dan jasa yang dihadarpkan pasti terhambat. Hal ini terjadi dalam EC, karena kontak antara pembeli dan penjual hanya kontak dalam basis data dan jaringan telekomunikasi.
Apakah itu berarti kita memerlukan bentuk kepercayaan yang sama sekali lain? Bagaimana kita dapat meyakini bahwa barang dengan jumlah dan kualitas yang diinginkan akan dikirimkan waktu yang dijanjikan, dan apakah pembayarannya juga diterima sesuai dengan kesepakatan (tidak kurang dan tidak lebih)? Masalahnya ada pada tingkat kepercayaan yang secara timbal balik terbentuk di antara dua pelaku bisnis.
Reputasi, pengalaman sebelumnya, dan ukuran perusahaan dapat mempengaruhi tingkat kepercayaan tersebut. Kepercayaan itu memang dapat juga ditumbuhkan melalui legislasi dan kepastian hukum (contoh: proteksi konsumen), dan kesepakatan (dalam EDI). Pada sisi teknis, kepercayaan dapat juga ditingkatkan dengan dukungan teknologi kriptografi, tanda tangan digital, komunikasi yang aman, dan aturan dalam penyelenggaraan pembayaran (payment protocol). Kepercayaan merupakan dasar bagi semua relasi, termasuk relasi transaksi komersial.
Tindakan persetujuan sebuah kontrak bisnis mengisyaratkan adanya suatu tingkat kepercayaan tertentu antara para peserta kontrak. Dalam lingkungan yang sifatnya elektronis, kepercayaan yang bersifat klasik, yaitu kepercayaan yang ada antara peserta yang saling mengenal satu sama lain secara pribadi, sebagian diganti oleh kepercayaan elektronis, yang bertumpu pada penggunaan teknologi seperti enkripsi dan penggunaan pihak ketiga (Trusted Third Parties). Teknologi baru itu tidak selalu tercakup dalam sistem hukum yang ada. Seabagi salah satu konsekuensi, sistem hukum harus menemukan cara-cara untuk dapat menangani pergeseran seperti ini. Di bawah ini dicoba dijelaskan organisasi maya yang dapat muncul sebagai sebuah solusi untuk masalah
kepercayaan ini, termasuk masalah teknisnya pada saat ini (khususnya masalah keamanan).
C.1. Organisasi Maya
Kehidupan ekonomi mempunyai dua mekanisme dasar untuk mengatur aliran jasa yaitu pasar dan hirarki. Hirarki menunjukkan kebersamaan dalam kepemilikan penggalpenggal dalam matarantai suplai, sedangkan pasar adalah representasi transaksi antara unit-unit organisasi kecil. Perhatian sekarang terfokus pada bentuk organisasi maya yang ada di antara pasar dan hirarki.
Pada umumnya penjual dan pembeli dihadapkan pada sejumlah resiko dan ketidakpastian dalam proses penjualan barang dan jasa. Ketidakpastian ini muncul oleh kenyataan bahwa penjual dihalangi oleh ketidakmampuan mereka untuk meramalkan masa depan, dan kemungkinan adanya rekan bisnis yang oportunistik. Pasar menyediakan rutin-rutin spesifik, prosedur dan sistem jaminan bagi pembeli dan penjual untuk melakukan transaksi pada tingkat ketidakpastian dan resiko yang rendah. Hirarki mengkoordinasikan aliran material dengan mengendalikannya dan mengarahkannya ke tingkatan yang lebih tinggi dalam jenjang manajemen. Dalam hal ini patut diteliti masalah kepercayaan dalam pasar elektronis tersebut, studi tentang dampak EC terhadap sistem audit dan control internal, dan studi tentang kepercayaan yang ditumbuhkan melalui sistem-sistem organisasional.
C.2. Keamanan
Beberapa jenis kepercayaan tidak lagi tampak dalam EC. Sebuah alamat-http (URL) bukanlah alamat fisik, verifikasi sebuah identitas dengan menggunakan paspor atau surat ijin mengemudi tidak dapat dilakukan secara virtual. Namun jaminan untuk melaksanakan autentikasi dan jaminan atas integritas pesan yang dipertukarkan merupakan hal yang penting. EC harus mampu menawarkan keamanan yang setara dengan keamanan dalam dunia nyata. Hal itu antara lain dapat direalisasikan dengan penggunaan teknik kriptografi -- sertifikat digital untuk memastikan autentikasi toko-toko dan konsumen virtual, tanda tangan digital dan cap digital untuk autentikasi dokumen,sistem deteksi adanya perubahan, serta enkripsi untuk menjamin kerahasiaan informasi
C.3. Informasi yang Terpercaya
Di samping kepercayaan terhadap saluran dan pesan, perhatian khusus juga harus diberikan pada kepercayaan akan informasi yang digunakan dan prosedur yang diikuti. Dalam perdagangan konvensional, relasi-sehat tumbuh berdasar pada pengalamansebelumnya dan perantara yang dipercaya. Dalam konteks CE tersedia kesempatan yang luas untuk mencari dan mengembangkan relasi baru namun dengan resiko bertransaksi yang semakin tinggi juga. Sebagai akibatnya, proses pencarian harus dipandu sehingga teridentifikasi dengan jelas sumber dari informasi yang sedang diperoleh.
Peserta dalam aplikasi EC harus menemukan metode dan alat untuk secara efektif melacak dan mengumpulkan informasi dan jasa on-line yang terpisah-pisah agar dapat diketemukan rekanan bisnis yang potensial. Untuk itu teknik navigasi yang lebih maju harus dikembangkan berdasar pada hyper-link, advanced keyword, context search engine Selain itu perlu ada sofware agent yang dapat mengeksplorasi dan mengindeks sumber informasi dan jasa. Sangat diharapkan agen itu dapat pula menyelenggarakan proses negosiasi dan kontrak yang memiliki derajat kepercayaan tinggi dengan cara yang efisien.. Selanjutnya, kontrak yang terhubung dengan sistem penyelenggaraan transaksimembuka peluang bagi aneka pengawasan yang intensif akan pelaksanaannya.( F. Soesianto, Stephane Bressan, Herry Ginanjar dan Ismail Khalil Ibrahim; Indonesian Information Society Initiative; Gadjah Mada University Yogyakarta – Indonesia)
D. Evaluasi Infrastruktur Ecommerce Yang Ada Di Indonesia.
Electronic Commerce (eCommerce) merupakan salah satu buzzword yang sering diucapkan akhir-akhir ini. Apakah eCommerce itu? Bagaimana mengimplementasikan e-Commerce di Indonesia? Siapkah Indonesia sebagai pemain (player)? Ataukah Indonesia akan menjadi pasar eCommerce saja? Pertanyaan-pertanyaan ini merupakan pertanyaan yang sulit dijawab.
v Berikut ini adalah evaluasi dari infrastruktur eCommerce yang ada di Indonesia.
1. National eCommerce center
Di Indonesia saat ini belum ada suatu pusat eCommerce yang bersifat nasional. Adanya pusat eCommerce dapat digunakan sebagai sumber referensi atau acuan bagi pelaku dan end user dari eCommerce dan juga tempat untuk mengembangkan penelitian.
2. Public Key Infrastructure
Saat ini belum banyak infrastruktur yang siap digunakan untuk eCommerce. Sebagai contoh, pada saat report ini ditulis, public key server yang sudah dapat digunakan oleh umum yang berada di Indonesia baru ada satu (di lab kami) dan sifatnya masih riset dan belum fully production. Tentu saja pemakai bisa menggunakan public key server yang berada di luar negeri (seperti yang berada di MIT atau Verisign). Akan tetapi penggunaan key server di luar negeri untuk transaksi di dalam negeri menjadi aneh dan membebani link dari Indonesia ke luar negeri yang sudah saturasi.
3. Bank,
Financial Institutions, Insurance Bank, financial institutions, insurance memiliki peran penting. Sayangnya komponen ini belum banyak yang siap melakukan eCommerce. Beberapa bank sudah mulai menyelenggarakan electronic banking dan bahkan ada yang mulai menggunakan Internet banking (seperti BII, Bank Lippo, dan Bank Bali).
Sistem perbankan di Indonesia juga menyulitan untuk melakukan transaksi denganmenggunakan mata uang lain, seperti misalnya dengan menggunakan mata uang DolarAmerika (US Dollar). Sebagai contoh, apabila ada sebuah electronic shop (eshop)menjual dagangannya seharga US$5 kepada seorang pelanggan di luar negeri, makaakan sulit untuk menguangkan US$5 tersebut. Untuk melakukan transaksi dengan credit card, uang sebesar itu kurang efektif. Sementara penggunaan check juga menyulitkan. Untuk menguangkan cheque US$5 membutuhkan waktu yang cukup lama (berminggu-minggu) dan dikenakan service charge yang cukup besar. Sehingga akibatnya akanmenyulitkan untuk melakukan transaksi electronic secara kecil-kecilan.
4. Government agencies,
Pemerintah harus siap agar eCommerce dapat berjalan. Beberapa departemen, lembaga, dan badan yang harus siap antara lain:
• Pabean (customs). Kelihatannya sudah ada usaha untuk menggunakan EDI.
• Departemen Keuangan
• Biro Pusat Statistik. Sudah terhubung ke Internet.
• Bakosurtanal. Penyedia informasi dalam bentuk peta.
• Badan Standarisasi yang memberikan arahan tentang standar-standar yang dapat digunakan di Indonesia. Sebagai contoh, di Amerika Serikat mengeluarkan standar untuk Digital Signature (DSS). (http://csrc.nist.gov/encryption,http://www.bakosurtanal.go.id)
5. Security agencies,
Keamanan merupakan komponen yang vital dalam pelaksanaan eCommerce. Masih banyak yang belum menyadari bahwa keamanan (security) merupakan sebuah komponen penting yang tidak murah. Saat ini masih banyak yang menganggap keamanan for granted. Security agencies yang berhubungan dengan masalah keamanan informasi di Indonesai masih langka. Saat ini hanya ada Indonesian Center of (Computer) Emergency Response Team (ID-CERT). Security Incident Response Team(SIRT) seperti IDCERT sangat dibutuhkan. Di linkungan Asia Pacific, para CERT dan SIRT bergabung dalam bentuk koordinasi dengan APSIRC (Asia Pacific Security Incident Response Coordination) yang merupakan bagian dari Asia Pacific Networking Group (APNG)
Di sisi pemerintah, peranan Lembaga Sandi Negara sangat penting. Lembaga ini bekerjasama dengan perguruan tinggi dan institusi lainnya untuk mengembangkan keamanan. Selain organisasi IDCERT dan lembaga pemerintah seperti Lembaga Sandi Negara, masih dibutuhkan konsultan yang bergerak dalam bidang keamaman. Konsultan inilah yang terjun langsung membantu para pelaku dan pengguna eCommerce. Pekerjaan yang dilakukan sangat banyak (lahan masih lebar) dan membutuhkan bantuan dari semua pihak. (http://www.paume.itb.ac.id/rahard/id-cert, )
6. Network Providers
Di Indonesia, ada lebih dari 20 Internet Service Provider (ISPs) / Penyedia Jasa Internet (PJI) yang aktif. Para PJI ini tergabung dalam asosiasi yang disebut APJII
7. Link ke luar, Indonesia saat ini diberikan oleh Indosat dan Satelindo
8. Sumberdaya Manusia
Masalah Sumber Daya Manusia manusia yang menguasai bidang eCommerce ini masih minim di Indonesia. Jangankan di Indonesia, di luar negeri pun hal ini masih menjadi masalah yang cukup serius. Untuk itu perlu digalang usaha-usaha untuk mendapatkan SDM baru dan meningkatkan kualitas SDM yang sudah ada sehingga kita mampu bersaing di dunia global. Salah satu kendala di Indonesia adalah masalah ketersediaan informasi, seperti tersedianya buku-buku referensi, journal, majalah yang membahas masalah eCommerce. Kalaupun ada, harganya di luar jangkauan. Salah satu cara yang dapat ditempuh adalah membuat buku dalam bahasa Indonesia, seperti Adanya usaha untuk memperbanyak dan meningkatkan SDM dalam bentuk pendidikan yang formal perlu ditingkatkan. Usaha-usaha yang dapat dilakukan adalah dengan menyediakan kuliah yang mendukung topik-topik eCommerce atau dengan menyelenggarakan workshop, seminar, pelatihan dengan topik tersebut.
Kesuksesan eCommerce bergantung kepada kenyamanan penggunaan sistem. Hubungan Internet ke luarIndonesia masih dapat dikatakan lambat, dan tidak nyaman. Link yang lambat ini sering menimbulkan time outs sehingga beberapa servis menjadi terganggu. Ada kasus dimana kelambanan link Internet menyebabkan kesulitan untuk mengembangkan Internet Banking. Apabila seorang pemakai gagal untuk memberikan identifikasinya dalam beberapa kali mencoba (misalnya tiga kali gagal memberikan password karena link lambat sehingga timeout), maka account yang bersangkutan tidak dapat diakses secara online. Untungnya di dalam Indonesia sendiri sudah ada usaha untuk mengadakan Internet Exchange, IIX, sehingga hubungan antar ISP di Indonesia tidak perlu ke luar negeri seperti sebelumnya dan kecepatan link antar ISP menjadi lebih tinggi.(http://www.apjii.or.id, http://www.indosat.co.id,http://www.satelindo.co.id)
E. Contoh eCommerce di Indonesia
Sampai saat ini, web resmi yang telah menyelenggarakan eCommerce di ndonesia adalah RisTI Shop. Risti, yaitu Divisi Riset dan Teknologi Informasi milik PT. Telkom, menyediakan prototipe layanan eCommerce untuk penyediaan informasi produk peralatan telekomunikasi dan non-telekomunikasi. Web ini juga telah mendukung proses transaksi secara online.
Selain RisTI, tampaknya belum ada web lain yang menyelenggarakan e-com di Indonesia. Padahal, untuk membuat sistem e-com, investasi yang dikeluarkan tidak sebesar membangun suatu toko yang sebenarnya. Selain itu, lingkup pemasaran produknya bisa jauh lebih luas, karena tidak terbatas pada satu kota tertentu. Selain itu, biaya penyelenggaraan dan promosi pada e-com juga lebih kecil jika dibandingkan dengan sistem toko yang konvensional.
Pertumbuhan Customer lewat internet akan terjadi sekitar 800% pertahun sampai tahun 2005. Di Internet sekarang terdapat, lebih dari 2.100.000 images dan 128,3 juta exiting pages. Menurut Survey dari IDC (International Data Corporation), diprediksikan dalam system ekonomi baru ini sekitar 3 milyar orang akan terkoneksi ke internet, walaupun sekarang hanya berjumlah sekitar 1,2 milayar orang saja.
Ada beberapa indikator tentang internet di Indonesia yang masih kurang menggembirakan. Misalnya, berdasarkan data APJII, dari 55 penyelenggara jasa internet di Indonesia yang telah mengantongi izin dari Dirjen Postel untuk memberikan jasa pelayanan, hanya 43 saja yang aktif menawarkan jasa. Selanjutnya pertumbuhan domain baru (perusahaan dengan co.id) masih sedikit yang menggunakannya.
Kita tidak perlu esimis. Tidak ada hubungannya antara jumlah pemakai dan pelanggan internet di suatu negara dengan kemampuan perusahaan eksis dalam eCommerce. Alasannya sederhana saja, ingat, internet adalah bisnis global. Begitu sebuah perusahaan masuk kesana, marketnya juga global. Kecuali jika perusahaan tersebut hanya melihat Indonesia saja sebagai pasarnya, artinya pasar di internet tidak lagi dibatasi geografis. Target market perusahaan diseluruh dunia adalah semua orang yang telah menggunakan internet. Perubahan yang terjadi dalam dua tahun terakhir, menunjukkan bahwa perdagangan yang dilakukan melalui internet terjadi penurunan harga sekitar 30%. Order Cycle sebuah bisnis yang tadinya memakan waktu 30 hari, waktunya bisa menjadi pendek, yakni 5 hari saja.
Data terbaru IDC (1998) juga menyebutkan, nilai transaksi via Internet di Asia-Pasifik (tak termasuk Jepang) pada 1998 mencapai US$ 643,11 juta, dengan jumlah pengakses sekitar 7,9 juta. Dari angka tersebut, nilai transaksi via Internet dari Indonesia diperkirakan sekitar US$ 1,16 juta dengan angka pengakses sekitar 110 ribu. Tentu saja masih relatif kecil, sebab Malaysia saja mempunyai nilai transaksi online pada 1998 sekitar US$ 20,1 juta dengan jumlah pengakses Internet sekitar 410 ribu.
Wajar kalau gambaran di Indonesia seperti itu. Bukti lainnya, meskipun
relatif banyak perusahaan yang sudah memasang homepage, hanya sedikit yang memfungsikannya sebagai toko online. Sebagian besar lebih
difungsikan sebagai media informasi dan pengenalan produk. Menurut Adji Gunawan, Associate Partner dan Technology Competency Group Head Andersen Consulting, secara umum ada tiga tahapan menuju eCommerce yakni: presence (kehadiran), interaktivitas dan transaksi. Nah, kebanyakan homepage perusahaan Indonesia baru pada tahapan presence.
Dyviacom Intrabumi atau D-Net (www.dnet.net.id) tergolong perusahaan perintis transaksi online di sini, yakni sejak September 1996. Wahana transaksi berupa mal online yang disebut D-Mall (diakses lewat D-Net) itu, hingga tulisan ini dibuat telah menampung sekitar 33 toko online/merchant. Produk yang dijual bermacam-macam, dari makanan, aksesori, pakaian, produk perkantoran sampai furniture.
Selain D-Net, beberapa perusahaan lain sebenarnya juga tengah menyiapkan mal online serupa. Indosat -- lewat IndosatNet (www.indosat.net.id) -- kini tengah mematangkan fasilitas transaksi online-nya, yang disebut i2 Mall (Indonesia Interactive Mall). • Telkom juga tengah mengembangkan mal online khusus produk-produk telekomunikasi yang disebut RisTIShop. Masih di lingkungan Telkom, kantor Telkom Divre V Jawa Timur juga membuat mal online, disebut Jatim Mall. Dan, kabarnya, WasantaraNet yang dimiliki PT Pos Indonesia telah pula membangun mal online-nya sendiri.
Akses harian D-Net mencapai 20 ribu hit/hari. Adapun dari pengalaman transaksi selama ini, menurutnya, produk makanan (kue) relatif terlaris, dengan rata-rata order 5 kali/hari (kalau hari raya bisa 50 order/hari).
Hanya saja, mungkin karena pertimbangan efisiensi, beberapa toko online -- seperti GiftNet -- membatasi nilai transaksinya, misalnya minimal Rp 100 ribu.
KESIMPULAN
v Electronic commerce merupakan bidang penelitian yang baru dan luas. Fokus dan pemilahan pendekatan penelitian adalah penting untuk menjamin output penelitian yang berkualitas tinggi sehingga memberikan kontribusi yang efektif dalam perkembangan ekonomi Indonesia.
Berdasarkan hal tersebut, telah disusun pendekatan penelitian yang bertumnpu pada value-added chain dari pemasok bahan baku, kemudian perusahaan perakitan dan pemasaran dan akhirnya ke konsumen akhir. Fokus kegiatan berkaitan dengan tiga persoalan pokok, yaitu nilai bisnis, interoperabilitas, dan kepercayaan. Ketiga hal itu sarat dengan aspek hukum, organisasi dan disiplin ilmu yang sangat teknis.
Bagan dibawah ini menggambarkan relasi antara berbagai topik.
v Berdasarkan bidang hukum dan regulasi mengenai kesiapan pengembangan ecommerce di Indonesia dapat disimpulkan bahwa:
1. Bahwa Indonesia secara mental masih belum siap sedangkan di lain sisi, hal ini sifatnya sangat urgent.
Kenapa hal ini dikemukakan, karena jujur saja, kalangan masyarakat Indonesia yang selama ini telah melakukan kegiatan dalam ruang lingkup electronic commerce, setidak-tidaknya yang mengetahui atau concern mengenai masalah ini hanya terbatas pada kalangan yang selama ini akrab dengan internet (walaupun telah disebutkan sebelumnya kemungkinan e-commerce di luar internet). Sedangkan kalangan ini hanyalah sebagian kecil dari masyarakat. Selain karena pengguna komputer (yang secara tidak langsung berpengaruh) masih sedikit. Dengan perkataan lain, masyarakat Indonesia harus segera menyiapkan diri menghadapi masalah ini sesegera mungkin, mengingat negara lain sudah menyiapkan diri dalam mensikapi perdagangan secara elektronis, dengan adanya kemudahan-kemudahan yang dibawanya.
2. Perlu dipikirkan adanya sosialisasi e-commerce kepada seluruh masyarakat Indonesia
3. Belum siapnya beberapa peraturan hukum Indonesia
Telah dikemukakan, prinsip yang kita pegang haruslah "Transform the Medium, not the Instrument". Kegiatan-kegiatan dalam e-commerce secara general masih dapat dikategorikan sebagai tindakan perdagangan/peniagaan biasa, walaupun terdapatnya hal-hal yang signifikan yang membedakannya seperti media elektronik yang menggantikan paper-based transaction. Dapat dikatakan beberapa peraturan hukum yang telah ada sekarang ini sudah dapat mencukupi, baik dengan cara melakukan penafsiran secara analogis terhadap tindakan yang ada dalam e-commerce (terhadap aturan yang belum ada) maupun melakukan penafsiran ekstentif dengan cara memberlakukan peraturan hukum pada hal-hal yang secara esensi adalah sama (contohnya: listrik dan data elektronik).
Dalam hal-hal yang khusus, sangat perlu dibuat peraturan hukum baru, seperti adanya pengaturan khusus di bidang Digital Signature sebagai pengamanan e-commerce, karena dalam bidang ini tidak dapat dilakukan penafsiran untuk menghindarkan kesalahpengertian mengenai esensi dari Digital Signature.
Perlu diperhatikan lebih lanjut bahwa perangkat hukum di Indonesia khususnya hukum perdata pada dasarnya telah mampu menjangkau permasalahan-permasalahan yang timbul. Hukum perdata ini secara umum. (sec.general: norma sdh mampu, tetapi kita msaih butuh pengraturan yang lebih spesifik tuk menjamin kepastian hukum bagi setiap perbuatan hukum perdata khususnya di bidang ecom.
4. Perlu dibentuk suatu tim khusus di bidang hukum/regulasi e-commerce sesegera mungkin.
Tim khusus ini perlu segera dibentuk untuk mempersiapkan peraturan hukum di bidang e-commerce khususnya Digital Signature. Kedudukan tim ini di bawah beberapa departemen, seperti Sekretariat Negara, Departemen Perdagangan dan Industri, Departemen Kehakiman, Departemen bidang Telekomunikasi, dan beberapa Departemen lainnya yang berkaitan erat dengan masalah ini. Tim khusus ini dapat bekerja secara inter departemen sehingga segala permasalahan dapat dicakup secara luas.
Note: Malaysia sudah membuat Digital Signature Act dari tahun 1997. Singapura jauh sebelumnya.
KAJIAN PUSTAKA.
Infrastruktur eCommerce di Indonesia ()
amwibowo@excite.com
emakarim@sisindosat.co.id
hendrayuristiawan@mailcity.com
auliaadnan@usa.net
krupuk@pacific.net.id
iisi@te.ugm.ac.id
dan berbagai sumber lain.
A.2 Managemen Supply Chain
Dalam banyak industri ada kecenderungan untuk konsumen memaksakan pilihan khas mereka. Produk dan jasa harus memenuhi kebutuhan spesifik tiap konsumen, tanpa harus kehilangan economic of scale. Bagaimana caranya agar lebih proaktif? Komunikasi yang lebih cepat perlu terjalin di antara para anggota dalam mata rantai penyediaan khususnya mengenai informasi tentang permintaan spesifik para konsumen. Secara teknis, itu berarti volume dan kandungan informasi yang dipertukarkan juga meningkat. Sebagai akibatnya keandalan dan ketepatan dari informasi yang dipertukarkantersebut menjadi faktor sukses kritis dalam matarantai suplai yang fleksibel dan responsif.
A.3 Masalah legacy
Sering sekali perusahaan menemukan kemampuan mereka berkompetisi dibatasi oleh proses bisnis dan sistem basis data yang sudah kuno, yang dirancang beberapa tahun yang lalu untuk keperluan pasar pada waktu itu. Legacy database seperti itu tidak lagi kompatibel dengan teknologi yang ada pada saat ini. Perusahaan dipaksa untuk mulai dari tingkat yang lebih mendasar, dengan mengarahkan usaha mereka pada rekayasa ulang dari model dan sistem bisnis mereka. Rekayasa ulang pada hakekatnya dapat didefinisikan sebagai sebuah proses untuk mengetahui bagaimana sistem legacy database bekerja dan bagaimana sistem berinteraksi dengan proses bisnis. Apapun pendekatan yang digunakan dalam proses rekayasa ulang tersebut, tiap tahap dan unsur harus dikaji dalam konteks teknologi yang mendukung EC. Antarmuka antara perusahaan dengan klien juga harus dikaji secara kritis. Dalam sebuah aplikasi penjualan, klien di sini biasanya adalah orang. Apakah representasi sebuah tempat belanja secara tiga dimensi (3D) akan meningkatkan penerimaan para pengguna? Jika antarmuka dengan pengguna didukung oleh agen yang berupa perangkat lunak, manakah yang akan membantu konsumen menemukan tempat yang diinginkannya untuk berbelanja dan mendapatkan produk yang diinginkan? Pertanyaan lain yang muncul: Hubungan dan perilaku agen yang bagaimanakah yang kiranya disebut sesuai? Bagimana seharusnya profil pengguna diimplementasikan dalam EC untuk meningkatkan tingkat penerimaan dan kepuasaan pengguna?
A.4 Desain Ulang Proses Hukum
Transaksi bisnis yang berdasar pada pemrosesan informasi dan komunikasi memberi pengaruh pada sistem hukum tradisonal yang berdasar pada kertas. EC menimbulkan efek penghilangan material pada beberapa proses. Dokumen yang ditulis tangan telah digantikan dengan dokumen yang diproduksi secara elektronis, dan perangkat lunak tidak lagi disajikan dalam bentuk disket melainkan dapat didownload melalui jaringan. Berdasar kenyataan bahwa hukum sering berdasar pada obyek fisik, maka hal ini akan menimbulkan masalah yang serius terhadap bisnis karena ketidakpastian hukum dari proses tersebut. Status hukum dari transaksi yang dibentuk secara otomatis, belumlah jelas. Apakah mungkin untuk sebuah perjanjian atau yang lebih umum, prosedur hukum dibuat oleh sebuah komputer ? Apakah kita membutuhkan revisi konsep hukum ? EC juga memberikan cara-cara baru untuk mengumpulkan informasi konsumen dengan lebih efisien. Perkembangan ini memberikan dampak yang kuat terhadap apek transparansi, yang tentu saja memberikan konsekuensi yang penting bagi konsep kerahasiaan (privacy). Permasalahan yang dijelaskan diatas hanyalah sebagian dari ketidakpastian hukum yang muncul berkaitan dengan diperkenalkannya EC. Semua itu sangat potensial dalam menghalangi diterimanya EC. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, tantangan dari EC adalah supaya perusahaan dan konsumen menerima EC. Untuk merealisasikannya, pemerintah sering dipandang sebagai yang bertanggungjawab untuk menghilangkan hambatan hukum untuk penerimaan EC. Meskipun IT menawarkan banyak kemungkinan tetapi tidak mungkin mencakup segala aspek. Masyarakat informasi akan semakin ditandai oleh perbedaan yang sangat besar dalam sektor-sektor, proses, dan aktivitas. Hal ini berarti bahwa norma dan nilai yang berbeda akan diterapkan untuk kasus yang berbeda dan untuk waktu yang berbeda pula. Tetapi implementasi teknologi medis digital tidak dapat dibandingkan dengan penggunaan perangkat lunak agen cerdas untuk kebijakan pemasaran langsung (direct-marketing). Meskipun pada aras teknologi perbedaannya tidak ternyata nyata, namun dalam pandangan hukum bisa sangat berbeda. Oleh sebab itu pelembagaan EC harus dikerjakan dengan cara-cara yang lebih spesifik daripada sekedar dengan hukum dan regulasi.
B. Interoperabilitas
Interoperabilitas adalah kemampuan sistem yang terpisah, pre-existing, independen, dan komponen-komponen sistem, misalkan akuntansi, pemrosesan order, dan sistem inventori, untuk bekerja sama untuk mencapai tujuan umum yang lebih tinggi. Sistem yang bersifat interoperabilitas tersusun oleh komponen otonom, diatur secara lokal, dan heterogen, yang bekerja sama untuk menghasilkan layanan yang kompleks. sistem seperti itu biasanya berupa sistem yang terdistribusi dan bnersifat terbuka dan merupakan subyek untuk melanjutkan perubahan. Meskipun masalah interoperabilitas pada dasarnya adalah masalah teknis, bagaimana perusahaan dapat beroperasi pada aras teknis – sementara perbedaan dalam standard dan sistem basis data itu jelas ada dan memiliki implikasi besar jika ditinjau dalam perspektif bisnis dan hukum yang biasa berlaku dalami dunia EC. Untuk perusahaan, interoperabilitas memfasilitasi penggabungan proses-proses bisnis dalam sebuah organisasi dengan organisasi yang lain. Dalam masalah hukum hal ini mengandung arti bahwa kerangka hukum untuk transaksi lintas batas harus juga bersifat interoperabel. Demikian juga status hukum dari pihak ketiga harus jelas baik dalam transaksi dalam negeri maupun dalam transaksi internasional. Seperti yang telah disebutkan dimuka, interoperabilitas bukan hanya masalah teknis, tetapi juga masalah organisasi dan hukum. Dalam kasus transaksi lintas-batas, misalnya, dapat ditinjau managemen supply chain sebagai cara untuk mencapai interoperabilitas pada aras bisnis dan aliran kerja terdistribusi ("distributed workflow") sebagai cara yang menantang untuk mencapai interoperabilitas teknis.
B.1 Jaringan Bisnis
Manajemen matarantai suplai menuntut pertukaran informasi yang cepat dan terpercaya diantara anggauta-anggauta sebuah matarantai tersebut, termasuk komunikasi dengan pasar/konsumen sasaran. Banyak perusahaan yang menjadi anggauta dari beberapa matarantai pada waktu yang sama. Sebagai contoh, sebuah produk dapat memasuki pasar sebagai bagian dari sebuah otomobil, perlengkapan listrik atau sebagai bagian dari produk elektronik. Demikian juga, sebuah rumah sakit dapat disuplai oleh pemasok barang farmasi dan saat yang sama juga menerima produk makanan untuk pasien, perlengkapan medis, dan perlengkapan untuk kantor. Oleh sebab itu dapatlah dikatakan bahwa sebuah perusahaan dan banyak perusahaan lain menjadi bagian dari sebuah jaringan bisnis yang berkembang, yang dengan sendirinya mengisyaratkan pentingnya interoperabilitas. Informasi akan dipertukarkan diantara rekanan bisnis, melayani berbagai macam tujuan dengan berbagai kebutuhan. Dalam situasi seperti itu dengan mudah dapat diamati adanya kenaikan tidak hanya dalam jumlah koneksi, melainkan juga pada volume dan kandungan komunikasi. Sebagai contoh, jika relasi hanya di antara penjual dan pembeli, maka kandungan komunikasi akan berkaitan dengan order, catatan-catatan pengiriman, faktur, dan pembayaran. Relasi yang lebih intens akan meliputi pertukaran spesifikasi, posisi stok saat ini, dan data perencanaan. Komunikasi yang lebih cepat harus terjadi diantara banyak anggauta sebuah jaringan bisnis menjadi sebuah faktor sukses yang penting.
B.2 Sistem Aliran Kerja Terdistribusi
Interaksi melalui WWW atau Internet membentuk model komunikasi yang baru di antara perusahaan sebagai akibat proses bisnis yang berorientasi global. Telah diamati munculnya sistem pendukung yang secara organisasional diintegrasikan dengan metodemetode yang muncul dari EC. Pastilah bahwa proses bisnis akan terdistribusi di sepanjang matarantai nilai. Sementara itu aplikasi aliran kerja yang ada dalam jaringan internal juga membutuhkan akses global untuk memastikan bahwa tugas dan proses bisnis terselenggara sesuai permintaan dan tepat dalam waktu. Supaya sukses dengan EC, sistem aliran kerja harus dapat memberi dukungan atas suatu pandangan yang sifatnya menyeluruh atas semua elemen bisnis yang melintasi batas-batas departemen dan dengan demikian dapat mengatur seluruh aliran operasional bisnis. Ini menuntut integrasi antara fungsi bisnis, antarmuka program-program aplikasi, dan basis data yang terdapat dalam semua departemen dalam organisasi. Secara umum, penerapan sebuah EC belum dapat memberi jaminan bagi transaksi yang handal, pengiriman pesan yang lancar dan layanan akses atas data seperti terdapat dalam aplikasi client/server. Untuk aplikasi Internet yang tangguh, perlu ada proteksi atas investasi dalam teknologi client/server dan sistem legacy. Problem tersebut hanya dapat dipecahkan dengan integrasikan sistem bisnis organisasi dan data legacy dengan web. Hal itu juga dapat dicapai dengan meletakkan perangkat lunak pemroses transaksi EC dan sistem manajemen aliran kerja diatas platform yang sudah terdistribusi sehingga terselenggaralah interoperasi di antara berbagai komponen yang sebenarnya tidak kompatibel.
C. Kepercayaan
Kepercayaan berkaitan dengan keyakinan, atau kemauan untuk meyakini bahwa seseorang dapat mengandalkan kebaikan dan kemampuan orang lain sebagai penjual atau pembeli. Kepercayaan itu juga dapat diwujudkan dengan bantuan teknik tertentu seperti kriptografi. Sekalipun ada unsur subyektif, kepercayaan merupakan wujud dari harapan sebuah komunitas yang mengandalkan sikap dan perilaku yang lugas, jujur dan kooperatif, menurut norma umum.
Dalam pasar, pembeli dan penjual dapat dihadapkan pada perilaku oportunisrik. Tanpa kepercayaan yang memadai di antara rekanan binis, aliran material dan jasa yang dihadarpkan pasti terhambat. Hal ini terjadi dalam EC, karena kontak antara pembeli dan penjual hanya kontak dalam basis data dan jaringan telekomunikasi.
Apakah itu berarti kita memerlukan bentuk kepercayaan yang sama sekali lain? Bagaimana kita dapat meyakini bahwa barang dengan jumlah dan kualitas yang diinginkan akan dikirimkan waktu yang dijanjikan, dan apakah pembayarannya juga diterima sesuai dengan kesepakatan (tidak kurang dan tidak lebih)? Masalahnya ada pada tingkat kepercayaan yang secara timbal balik terbentuk di antara dua pelaku bisnis.
Reputasi, pengalaman sebelumnya, dan ukuran perusahaan dapat mempengaruhi tingkat kepercayaan tersebut. Kepercayaan itu memang dapat juga ditumbuhkan melalui legislasi dan kepastian hukum (contoh: proteksi konsumen), dan kesepakatan (dalam EDI). Pada sisi teknis, kepercayaan dapat juga ditingkatkan dengan dukungan teknologi kriptografi, tanda tangan digital, komunikasi yang aman, dan aturan dalam penyelenggaraan pembayaran (payment protocol). Kepercayaan merupakan dasar bagi semua relasi, termasuk relasi transaksi komersial.
Tindakan persetujuan sebuah kontrak bisnis mengisyaratkan adanya suatu tingkat kepercayaan tertentu antara para peserta kontrak. Dalam lingkungan yang sifatnya elektronis, kepercayaan yang bersifat klasik, yaitu kepercayaan yang ada antara peserta yang saling mengenal satu sama lain secara pribadi, sebagian diganti oleh kepercayaan elektronis, yang bertumpu pada penggunaan teknologi seperti enkripsi dan penggunaan pihak ketiga (Trusted Third Parties). Teknologi baru itu tidak selalu tercakup dalam sistem hukum yang ada. Seabagi salah satu konsekuensi, sistem hukum harus menemukan cara-cara untuk dapat menangani pergeseran seperti ini. Di bawah ini dicoba dijelaskan organisasi maya yang dapat muncul sebagai sebuah solusi untuk masalah
kepercayaan ini, termasuk masalah teknisnya pada saat ini (khususnya masalah keamanan).
C.1. Organisasi Maya
Kehidupan ekonomi mempunyai dua mekanisme dasar untuk mengatur aliran jasa yaitu pasar dan hirarki. Hirarki menunjukkan kebersamaan dalam kepemilikan penggalpenggal dalam matarantai suplai, sedangkan pasar adalah representasi transaksi antara unit-unit organisasi kecil. Perhatian sekarang terfokus pada bentuk organisasi maya yang ada di antara pasar dan hirarki.
Pada umumnya penjual dan pembeli dihadapkan pada sejumlah resiko dan ketidakpastian dalam proses penjualan barang dan jasa. Ketidakpastian ini muncul oleh kenyataan bahwa penjual dihalangi oleh ketidakmampuan mereka untuk meramalkan masa depan, dan kemungkinan adanya rekan bisnis yang oportunistik. Pasar menyediakan rutin-rutin spesifik, prosedur dan sistem jaminan bagi pembeli dan penjual untuk melakukan transaksi pada tingkat ketidakpastian dan resiko yang rendah. Hirarki mengkoordinasikan aliran material dengan mengendalikannya dan mengarahkannya ke tingkatan yang lebih tinggi dalam jenjang manajemen. Dalam hal ini patut diteliti masalah kepercayaan dalam pasar elektronis tersebut, studi tentang dampak EC terhadap sistem audit dan control internal, dan studi tentang kepercayaan yang ditumbuhkan melalui sistem-sistem organisasional.
C.2. Keamanan
Beberapa jenis kepercayaan tidak lagi tampak dalam EC. Sebuah alamat-http (URL) bukanlah alamat fisik, verifikasi sebuah identitas dengan menggunakan paspor atau surat ijin mengemudi tidak dapat dilakukan secara virtual. Namun jaminan untuk melaksanakan autentikasi dan jaminan atas integritas pesan yang dipertukarkan merupakan hal yang penting. EC harus mampu menawarkan keamanan yang setara dengan keamanan dalam dunia nyata. Hal itu antara lain dapat direalisasikan dengan penggunaan teknik kriptografi -- sertifikat digital untuk memastikan autentikasi toko-toko dan konsumen virtual, tanda tangan digital dan cap digital untuk autentikasi dokumen,sistem deteksi adanya perubahan, serta enkripsi untuk menjamin kerahasiaan informasi
C.3. Informasi yang Terpercaya
Di samping kepercayaan terhadap saluran dan pesan, perhatian khusus juga harus diberikan pada kepercayaan akan informasi yang digunakan dan prosedur yang diikuti. Dalam perdagangan konvensional, relasi-sehat tumbuh berdasar pada pengalamansebelumnya dan perantara yang dipercaya. Dalam konteks CE tersedia kesempatan yang luas untuk mencari dan mengembangkan relasi baru namun dengan resiko bertransaksi yang semakin tinggi juga. Sebagai akibatnya, proses pencarian harus dipandu sehingga teridentifikasi dengan jelas sumber dari informasi yang sedang diperoleh.
Peserta dalam aplikasi EC harus menemukan metode dan alat untuk secara efektif melacak dan mengumpulkan informasi dan jasa on-line yang terpisah-pisah agar dapat diketemukan rekanan bisnis yang potensial. Untuk itu teknik navigasi yang lebih maju harus dikembangkan berdasar pada hyper-link, advanced keyword, context search engine Selain itu perlu ada sofware agent yang dapat mengeksplorasi dan mengindeks sumber informasi dan jasa. Sangat diharapkan agen itu dapat pula menyelenggarakan proses negosiasi dan kontrak yang memiliki derajat kepercayaan tinggi dengan cara yang efisien.. Selanjutnya, kontrak yang terhubung dengan sistem penyelenggaraan transaksimembuka peluang bagi aneka pengawasan yang intensif akan pelaksanaannya.( F. Soesianto, Stephane Bressan, Herry Ginanjar dan Ismail Khalil Ibrahim; Indonesian Information Society Initiative; Gadjah Mada University Yogyakarta – Indonesia)
D. Evaluasi Infrastruktur Ecommerce Yang Ada Di Indonesia.
Electronic Commerce (eCommerce) merupakan salah satu buzzword yang sering diucapkan akhir-akhir ini. Apakah eCommerce itu? Bagaimana mengimplementasikan e-Commerce di Indonesia? Siapkah Indonesia sebagai pemain (player)? Ataukah Indonesia akan menjadi pasar eCommerce saja? Pertanyaan-pertanyaan ini merupakan pertanyaan yang sulit dijawab.
v Berikut ini adalah evaluasi dari infrastruktur eCommerce yang ada di Indonesia.
1. National eCommerce center
Di Indonesia saat ini belum ada suatu pusat eCommerce yang bersifat nasional. Adanya pusat eCommerce dapat digunakan sebagai sumber referensi atau acuan bagi pelaku dan end user dari eCommerce dan juga tempat untuk mengembangkan penelitian.
2. Public Key Infrastructure
Saat ini belum banyak infrastruktur yang siap digunakan untuk eCommerce. Sebagai contoh, pada saat report ini ditulis, public key server yang sudah dapat digunakan oleh umum yang berada di Indonesia baru ada satu (di lab kami) dan sifatnya masih riset dan belum fully production. Tentu saja pemakai bisa menggunakan public key server yang berada di luar negeri (seperti yang berada di MIT atau Verisign). Akan tetapi penggunaan key server di luar negeri untuk transaksi di dalam negeri menjadi aneh dan membebani link dari Indonesia ke luar negeri yang sudah saturasi.
3. Bank,
Financial Institutions, Insurance Bank, financial institutions, insurance memiliki peran penting. Sayangnya komponen ini belum banyak yang siap melakukan eCommerce. Beberapa bank sudah mulai menyelenggarakan electronic banking dan bahkan ada yang mulai menggunakan Internet banking (seperti BII, Bank Lippo, dan Bank Bali).
Sistem perbankan di Indonesia juga menyulitan untuk melakukan transaksi denganmenggunakan mata uang lain, seperti misalnya dengan menggunakan mata uang DolarAmerika (US Dollar). Sebagai contoh, apabila ada sebuah electronic shop (eshop)menjual dagangannya seharga US$5 kepada seorang pelanggan di luar negeri, makaakan sulit untuk menguangkan US$5 tersebut. Untuk melakukan transaksi dengan credit card, uang sebesar itu kurang efektif. Sementara penggunaan check juga menyulitkan. Untuk menguangkan cheque US$5 membutuhkan waktu yang cukup lama (berminggu-minggu) dan dikenakan service charge yang cukup besar. Sehingga akibatnya akanmenyulitkan untuk melakukan transaksi electronic secara kecil-kecilan.
4. Government agencies,
Pemerintah harus siap agar eCommerce dapat berjalan. Beberapa departemen, lembaga, dan badan yang harus siap antara lain:
• Pabean (customs). Kelihatannya sudah ada usaha untuk menggunakan EDI.
• Departemen Keuangan
• Biro Pusat Statistik. Sudah terhubung ke Internet.
• Bakosurtanal. Penyedia informasi dalam bentuk peta.
• Badan Standarisasi yang memberikan arahan tentang standar-standar yang dapat digunakan di Indonesia. Sebagai contoh, di Amerika Serikat mengeluarkan standar untuk Digital Signature (DSS). (http://csrc.nist.gov/encryption,http://www.bakosurtanal.go.id)
5. Security agencies,
Keamanan merupakan komponen yang vital dalam pelaksanaan eCommerce. Masih banyak yang belum menyadari bahwa keamanan (security) merupakan sebuah komponen penting yang tidak murah. Saat ini masih banyak yang menganggap keamanan for granted. Security agencies yang berhubungan dengan masalah keamanan informasi di Indonesai masih langka. Saat ini hanya ada Indonesian Center of (Computer) Emergency Response Team (ID-CERT). Security Incident Response Team(SIRT) seperti IDCERT sangat dibutuhkan. Di linkungan Asia Pacific, para CERT dan SIRT bergabung dalam bentuk koordinasi dengan APSIRC (Asia Pacific Security Incident Response Coordination) yang merupakan bagian dari Asia Pacific Networking Group (APNG)
Di sisi pemerintah, peranan Lembaga Sandi Negara sangat penting. Lembaga ini bekerjasama dengan perguruan tinggi dan institusi lainnya untuk mengembangkan keamanan. Selain organisasi IDCERT dan lembaga pemerintah seperti Lembaga Sandi Negara, masih dibutuhkan konsultan yang bergerak dalam bidang keamaman. Konsultan inilah yang terjun langsung membantu para pelaku dan pengguna eCommerce. Pekerjaan yang dilakukan sangat banyak (lahan masih lebar) dan membutuhkan bantuan dari semua pihak. (http://www.paume.itb.ac.id/rahard/id-cert,
6. Network Providers
Di Indonesia, ada lebih dari 20 Internet Service Provider (ISPs) / Penyedia Jasa Internet (PJI) yang aktif. Para PJI ini tergabung dalam asosiasi yang disebut APJII
7. Link ke luar, Indonesia saat ini diberikan oleh Indosat dan Satelindo
8. Sumberdaya Manusia
Masalah Sumber Daya Manusia manusia yang menguasai bidang eCommerce ini masih minim di Indonesia. Jangankan di Indonesia, di luar negeri pun hal ini masih menjadi masalah yang cukup serius. Untuk itu perlu digalang usaha-usaha untuk mendapatkan SDM baru dan meningkatkan kualitas SDM yang sudah ada sehingga kita mampu bersaing di dunia global. Salah satu kendala di Indonesia adalah masalah ketersediaan informasi, seperti tersedianya buku-buku referensi, journal, majalah yang membahas masalah eCommerce. Kalaupun ada, harganya di luar jangkauan. Salah satu cara yang dapat ditempuh adalah membuat buku dalam bahasa Indonesia, seperti Adanya usaha untuk memperbanyak dan meningkatkan SDM dalam bentuk pendidikan yang formal perlu ditingkatkan. Usaha-usaha yang dapat dilakukan adalah dengan menyediakan kuliah yang mendukung topik-topik eCommerce atau dengan menyelenggarakan workshop, seminar, pelatihan dengan topik tersebut.
Kesuksesan eCommerce bergantung kepada kenyamanan penggunaan sistem. Hubungan Internet ke luarIndonesia masih dapat dikatakan lambat, dan tidak nyaman. Link yang lambat ini sering menimbulkan time outs sehingga beberapa servis menjadi terganggu. Ada kasus dimana kelambanan link Internet menyebabkan kesulitan untuk mengembangkan Internet Banking. Apabila seorang pemakai gagal untuk memberikan identifikasinya dalam beberapa kali mencoba (misalnya tiga kali gagal memberikan password karena link lambat sehingga timeout), maka account yang bersangkutan tidak dapat diakses secara online. Untungnya di dalam Indonesia sendiri sudah ada usaha untuk mengadakan Internet Exchange, IIX, sehingga hubungan antar ISP di Indonesia tidak perlu ke luar negeri seperti sebelumnya dan kecepatan link antar ISP menjadi lebih tinggi.(http://www.apjii.or.id, http://www.indosat.co.id,http://www.satelindo.co.id)
E. Contoh eCommerce di Indonesia
Sampai saat ini, web resmi yang telah menyelenggarakan eCommerce di ndonesia adalah RisTI Shop. Risti, yaitu Divisi Riset dan Teknologi Informasi milik PT. Telkom, menyediakan prototipe layanan eCommerce untuk penyediaan informasi produk peralatan telekomunikasi dan non-telekomunikasi. Web ini juga telah mendukung proses transaksi secara online.
Selain RisTI, tampaknya belum ada web lain yang menyelenggarakan e-com di Indonesia. Padahal, untuk membuat sistem e-com, investasi yang dikeluarkan tidak sebesar membangun suatu toko yang sebenarnya. Selain itu, lingkup pemasaran produknya bisa jauh lebih luas, karena tidak terbatas pada satu kota tertentu. Selain itu, biaya penyelenggaraan dan promosi pada e-com juga lebih kecil jika dibandingkan dengan sistem toko yang konvensional.
Pertumbuhan Customer lewat internet akan terjadi sekitar 800% pertahun sampai tahun 2005. Di Internet sekarang terdapat, lebih dari 2.100.000 images dan 128,3 juta exiting pages. Menurut Survey dari IDC (International Data Corporation), diprediksikan dalam system ekonomi baru ini sekitar 3 milyar orang akan terkoneksi ke internet, walaupun sekarang hanya berjumlah sekitar 1,2 milayar orang saja.
Ada beberapa indikator tentang internet di Indonesia yang masih kurang menggembirakan. Misalnya, berdasarkan data APJII, dari 55 penyelenggara jasa internet di Indonesia yang telah mengantongi izin dari Dirjen Postel untuk memberikan jasa pelayanan, hanya 43 saja yang aktif menawarkan jasa. Selanjutnya pertumbuhan domain baru (perusahaan dengan co.id) masih sedikit yang menggunakannya.
Kita tidak perlu esimis. Tidak ada hubungannya antara jumlah pemakai dan pelanggan internet di suatu negara dengan kemampuan perusahaan eksis dalam eCommerce. Alasannya sederhana saja, ingat, internet adalah bisnis global. Begitu sebuah perusahaan masuk kesana, marketnya juga global. Kecuali jika perusahaan tersebut hanya melihat Indonesia saja sebagai pasarnya, artinya pasar di internet tidak lagi dibatasi geografis. Target market perusahaan diseluruh dunia adalah semua orang yang telah menggunakan internet. Perubahan yang terjadi dalam dua tahun terakhir, menunjukkan bahwa perdagangan yang dilakukan melalui internet terjadi penurunan harga sekitar 30%. Order Cycle sebuah bisnis yang tadinya memakan waktu 30 hari, waktunya bisa menjadi pendek, yakni 5 hari saja.
Data terbaru IDC (1998) juga menyebutkan, nilai transaksi via Internet di Asia-Pasifik (tak termasuk Jepang) pada 1998 mencapai US$ 643,11 juta, dengan jumlah pengakses sekitar 7,9 juta. Dari angka tersebut, nilai transaksi via Internet dari Indonesia diperkirakan sekitar US$ 1,16 juta dengan angka pengakses sekitar 110 ribu. Tentu saja masih relatif kecil, sebab Malaysia saja mempunyai nilai transaksi online pada 1998 sekitar US$ 20,1 juta dengan jumlah pengakses Internet sekitar 410 ribu.
Wajar kalau gambaran di Indonesia seperti itu. Bukti lainnya, meskipun
relatif banyak perusahaan yang sudah memasang homepage, hanya sedikit yang memfungsikannya sebagai toko online. Sebagian besar lebih
difungsikan sebagai media informasi dan pengenalan produk. Menurut Adji Gunawan, Associate Partner dan Technology Competency Group Head Andersen Consulting, secara umum ada tiga tahapan menuju eCommerce yakni: presence (kehadiran), interaktivitas dan transaksi. Nah, kebanyakan homepage perusahaan Indonesia baru pada tahapan presence.
Dyviacom Intrabumi atau D-Net (www.dnet.net.id) tergolong perusahaan perintis transaksi online di sini, yakni sejak September 1996. Wahana transaksi berupa mal online yang disebut D-Mall (diakses lewat D-Net) itu, hingga tulisan ini dibuat telah menampung sekitar 33 toko online/merchant. Produk yang dijual bermacam-macam, dari makanan, aksesori, pakaian, produk perkantoran sampai furniture.
Selain D-Net, beberapa perusahaan lain sebenarnya juga tengah menyiapkan mal online serupa. Indosat -- lewat IndosatNet (www.indosat.net.id) -- kini tengah mematangkan fasilitas transaksi online-nya, yang disebut i2 Mall (Indonesia Interactive Mall). • Telkom juga tengah mengembangkan mal online khusus produk-produk telekomunikasi yang disebut RisTIShop. Masih di lingkungan Telkom, kantor Telkom Divre V Jawa Timur juga membuat mal online, disebut Jatim Mall. Dan, kabarnya, WasantaraNet yang dimiliki PT Pos Indonesia telah pula membangun mal online-nya sendiri.
Akses harian D-Net mencapai 20 ribu hit/hari. Adapun dari pengalaman transaksi selama ini, menurutnya, produk makanan (kue) relatif terlaris, dengan rata-rata order 5 kali/hari (kalau hari raya bisa 50 order/hari).
Hanya saja, mungkin karena pertimbangan efisiensi, beberapa toko online -- seperti GiftNet -- membatasi nilai transaksinya, misalnya minimal Rp 100 ribu.
KESIMPULAN
v Electronic commerce merupakan bidang penelitian yang baru dan luas. Fokus dan pemilahan pendekatan penelitian adalah penting untuk menjamin output penelitian yang berkualitas tinggi sehingga memberikan kontribusi yang efektif dalam perkembangan ekonomi Indonesia.
Berdasarkan hal tersebut, telah disusun pendekatan penelitian yang bertumnpu pada value-added chain dari pemasok bahan baku, kemudian perusahaan perakitan dan pemasaran dan akhirnya ke konsumen akhir. Fokus kegiatan berkaitan dengan tiga persoalan pokok, yaitu nilai bisnis, interoperabilitas, dan kepercayaan. Ketiga hal itu sarat dengan aspek hukum, organisasi dan disiplin ilmu yang sangat teknis.
Bagan dibawah ini menggambarkan relasi antara berbagai topik.
v Berdasarkan bidang hukum dan regulasi mengenai kesiapan pengembangan ecommerce di Indonesia dapat disimpulkan bahwa:
1. Bahwa Indonesia secara mental masih belum siap sedangkan di lain sisi, hal ini sifatnya sangat urgent.
Kenapa hal ini dikemukakan, karena jujur saja, kalangan masyarakat Indonesia yang selama ini telah melakukan kegiatan dalam ruang lingkup electronic commerce, setidak-tidaknya yang mengetahui atau concern mengenai masalah ini hanya terbatas pada kalangan yang selama ini akrab dengan internet (walaupun telah disebutkan sebelumnya kemungkinan e-commerce di luar internet). Sedangkan kalangan ini hanyalah sebagian kecil dari masyarakat. Selain karena pengguna komputer (yang secara tidak langsung berpengaruh) masih sedikit. Dengan perkataan lain, masyarakat Indonesia harus segera menyiapkan diri menghadapi masalah ini sesegera mungkin, mengingat negara lain sudah menyiapkan diri dalam mensikapi perdagangan secara elektronis, dengan adanya kemudahan-kemudahan yang dibawanya.
2. Perlu dipikirkan adanya sosialisasi e-commerce kepada seluruh masyarakat Indonesia
3. Belum siapnya beberapa peraturan hukum Indonesia
Telah dikemukakan, prinsip yang kita pegang haruslah "Transform the Medium, not the Instrument". Kegiatan-kegiatan dalam e-commerce secara general masih dapat dikategorikan sebagai tindakan perdagangan/peniagaan biasa, walaupun terdapatnya hal-hal yang signifikan yang membedakannya seperti media elektronik yang menggantikan paper-based transaction. Dapat dikatakan beberapa peraturan hukum yang telah ada sekarang ini sudah dapat mencukupi, baik dengan cara melakukan penafsiran secara analogis terhadap tindakan yang ada dalam e-commerce (terhadap aturan yang belum ada) maupun melakukan penafsiran ekstentif dengan cara memberlakukan peraturan hukum pada hal-hal yang secara esensi adalah sama (contohnya: listrik dan data elektronik).
Dalam hal-hal yang khusus, sangat perlu dibuat peraturan hukum baru, seperti adanya pengaturan khusus di bidang Digital Signature sebagai pengamanan e-commerce, karena dalam bidang ini tidak dapat dilakukan penafsiran untuk menghindarkan kesalahpengertian mengenai esensi dari Digital Signature.
Perlu diperhatikan lebih lanjut bahwa perangkat hukum di Indonesia khususnya hukum perdata pada dasarnya telah mampu menjangkau permasalahan-permasalahan yang timbul. Hukum perdata ini secara umum. (sec.general: norma sdh mampu, tetapi kita msaih butuh pengraturan yang lebih spesifik tuk menjamin kepastian hukum bagi setiap perbuatan hukum perdata khususnya di bidang ecom.
4. Perlu dibentuk suatu tim khusus di bidang hukum/regulasi e-commerce sesegera mungkin.
Tim khusus ini perlu segera dibentuk untuk mempersiapkan peraturan hukum di bidang e-commerce khususnya Digital Signature. Kedudukan tim ini di bawah beberapa departemen, seperti Sekretariat Negara, Departemen Perdagangan dan Industri, Departemen Kehakiman, Departemen bidang Telekomunikasi, dan beberapa Departemen lainnya yang berkaitan erat dengan masalah ini. Tim khusus ini dapat bekerja secara inter departemen sehingga segala permasalahan dapat dicakup secara luas.
Note: Malaysia sudah membuat Digital Signature Act dari tahun 1997. Singapura jauh sebelumnya.
KAJIAN PUSTAKA.
Infrastruktur eCommerce di Indonesia (
amwibowo@excite.com
emakarim@sisindosat.co.id
hendrayuristiawan@mailcity.com
auliaadnan@usa.net
krupuk@pacific.net.id
iisi@te.ugm.ac.id
dan berbagai sumber lain.